Jumat, 18 Juli 2008

Revisi PP 48/2005, untuk Siapa?

* Oleh Mun Zen Adv & Hery Nugroho

PEMERINTAH akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) 48/2005 tentang Pengangkatan Guru Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) membawa angin segar bagi kalangan guru swasta. Karena sejak diberlakukan PP 48/2005, hak-hak guru untuk bisa menjadi CPNS dipasung oleh PP tersebut. Oleh karenanya guru swasta sudah lama memperjuangkan adanya revisi PP 48/2005.

Menurut Deputi Negera Pendayagunaan Aparatur Negara Bidang SDM, Tasik Kisnanto, revisi dilakukan, agar seluruh guru bantu dapat diangkat menjadi CPNS pada 2009. Ini berarti perjuangan menuntut hak guru swasta pupus lagi. Bahkan untuk periode Oktober 2006, pemerintah berencana hanya merekrut CPNS dari tenaga honorer. Akibatnya, pada periode Oktober nanti guru swasta kehilangan kesempatan untuk menjadi PNS.

Menurut penulis, revisi yang digodok pemerintah sekarang ini hanya untuk meneguhkan semua tenaga honorer yang penghasilannya dari APBN atau APBD agar dapat lolos seleksi CPNS yang terganjal dengan syarat-syarat tertentu.

Kalau ini benar-benar dilakukan pemerintah, pasti akan menuai banyak protes dari berbagai kalangan -khususnya guru swasta. Pemerintah dianggap telah melakukan diskriminasi terhadap guru swasta dan menganakemaskan guru bantu serta guru yang digaji oleh APBN/APBD. Padahal Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, dalam peringatan hari pendidikan nasional, 2 Mei 2006 mengatakan sudah tidak saatnya lagi terjadi diskriminasi antara negeri dan swasta.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah hanya memprioritaskan guru bantu serta guru yang digaji oleh APBN/APBD saja untuk diangkat menjadi PNS? Bagaimana dengan nasib guru swasta yang justru telah mengabdi berpuluh-puluh tahun dengan gaji seadanya.

Perlu diingat, dalam perjalanan bangsa Indonesia telah tercatat bahwa guru swasta memegang peranan penting dalam membantu pemerintah mencerdaskan anak bangsa.

Akar Permasalahan

Sebenarnya yang menjadi pokok persoalan adalah, perlakuan pemerintah yang tidak adil antara tenaga honorer yang diangkat pemerintah dengan yang diangkat swasta. Dalam Pasal 1 ayat l disebutkan kriteria tenaga honorer yang dapat diangkat menjadi CPNS adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau Pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

Dengan kata lain tenaga honorer yang mendapatkan gaji APBN atau APBD pasti akan diangkat menjadi CPNS sampai tahun 2009, tanpa melalui seleksi yang ketat. Seleksinya pun sangat mudah, yakni hanya dengan mengisi/menjawab daftar pertanyaan mengenai pengetahuan tata pemerintahan/kepemerintahan yang baik. (Pasal 4 ayat 1).

Pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS memprioritaskan yang berusia paling tinggi dan atau mempunyai masa kerja lebih banyak. (Pasa1 4 ayat 2). Pendek kata, menurut PP tersebut asal persyaratan administrasi lengkap serta ikut tes pasti akan menjadi PNS dengan sendirinya. Kalau belum berhasil tahun 2006, dengan duduk manis menunggu sampai tahun 2009, pasti status PNS berada di tangan.

Sedangkan guru swasta dikategorikan sebagai pelamar umum untuk menjadi PNS, harus melalui seleksi yang ketat. Persaingannya sangat banyak, dan belum pasti diterima. Bahkan ada yang sampai mengulang berkali-kali dan gagal. Hal inilah yang menjadi kecemburuan bagi tenaga nonhonorer.

Pasca pemberlakukan PP ini, pemerintah harus menindak tegas bagi pejabat yang mengangkat tenaga honorer lagi. Walaupun sudah diatur dalam Pasal 8, sampai sekarang masih ada pejabat yang berani mengangkat tenaga honorer.Dengan usulan revisi PP 48/2005 ini, setidaknya dapat meminimalisir kelemahan-kelemahan yang ada selama ini.

Padahal dalam awal perekrutan tenaga honorer versi PP. 48/2005 berjalan tidak fair, yakni lebih banyak diangkat karena kedekatan dengan pejabat/kepala sekolah tanpa diseleksi dengan ketat. Kalau ada tes, tesnya pun belum mencerminkan kualitas sebagai profesi guru. Hal ini jelas bertentangan dengan UU Guru dan Dosen. Kalau dipaksakan dengan model ini bagaimana pemerintah mau menerima aparatur negara yang berkualitas, kalau inpumya kurang baik.

Secara tidak langsung negara akan dirugikan, karena harus membayar mahal PNS yang belum tentu berkualitas. Ingat bahwa gaji yang diterima PNS adalah uang rakyat bukan uang pemerintah. Pemerintah hanya sebagai penyelenggara negara, sehingga pemerintah tidak bisa seenaknya mengangkat PNS tanpa melalui seleksi yang ketat dan akuntabel.

Kalau dilihat awal dikeluarkannya PP 48/2005, sebenarnya syarat dengan masalah. Terbukti, ketika Forum Komunikasi Guru Karyawan Swasta (FKGKS) saat itu -sekarang berubah PGKSI- Jawa Tengah pada tanggal 25 Januari 2006 beraudiensi dengan Meneg PAN, Mendiknas dan Menag di Jakarta, ternyata antara Meneg PAN dan Mendiknas saling melempar tanggung jawab dalam pembuatan PP tersebut.

Pada saat itu, Meneg PAN, Taufik Efendi, mengatakan bahwa PP. 48/2005 tersebut dibuat dengan tujuan, agar tenaga honorer yang dibiayai oleh negara, yang selama ini ketika ikut seleksi CPNS selalu gagal, maka mereka perlu diangkat secara khusus. Tujuannya agar mereka menjadi profesional dalam melaksanakan tugasnya ketika sudah menjadi PNS.

Tidak Profesional

Bagi penulis, pengangkatan secara khusus terhadap tenaga honorer menjadi PNS tidak ada kaitannya dengan profesionalisme, justru malah sebaliknya. Karena mereka diangkat tanpa melalui proses seleksi yang adil, objektif dan kompetitif. Kalau pemerintah ingin menciptakan tenaga honorer yang profesional, maka seharusnya memperbanyak pelatihan secara intensif dan proposional bukan membuat PP khusus untuk bisa diangkat menjadi PNS.

Menurut Masduki Baidhowi, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, PP ini dilatarbelakangi adanya tekanan dari tenaga instansi pemerintah untuk bisa diangkat menjadi CPNS. Padahal dalam kontrak kerja terdapat klausul tidak akan menuntut diangkat menjadi PNS. Contoh yang terbaru, karena desakan dari persatuan sekretaris desa (sekdes) seluruh Indonesia, pemerintah akan mengangkat semua sekdes menjadi PNS sampai tahun 2009 (SNI, 23/9/06) Hal ini kalau dibiarkan terus - menerus akan menjadi potret buram bagi bangsa Indonesia.

Dikhawatirkan nanti muncul demo dari tenaga honorer yang belum tertampung dalam PP. 48/2005. Kondisi ini menunjukkan, pemerintah tidak punya master plan yang baik dalam perekrutan CPNS. Khusus dalam pembuatan PP 48/2005, pemerintah tidak membahas secara matang dan dilakukan secara sepihak. Oleh karenanya perlu adanya revisi PP. 48/2005 yang tidak diskriminatif.

Usulan revisi PP. 48/2005

Dalam revisi PP. 48/2005 ini, perlu ada pembahasan yang lebih mendalam serta harus melibatkan dengan komponen termasuk swasta, sehingga nantinya hasil revisi tersebut dapat diterima oleh berbagai pihak. Di antara usulan tersebut, penulis sepakat dengan pendapat dari H. Daromi Irdjas, SH, anggota Komisi X DPR RI bahwa perlu redefinisi Pasal 1 ayat 1 PP 48/2005 (SM, 21/9) tentang pengertian tenaga honorer.

Konkretnya, di sini yang dimaksud tenaga honorer tidak hanya seseorang yang penghasilannya dari APBN/ APBD tetapi juga penghasilannya dari swasta. Di sini tidak ada perbedaan yang mengabdi di instansi pemerintah dengan swasta.

Kemudian pada Pasal 4 ayat (2) bahwa pengangkatan tenaga honorer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf d, selain melalui seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengisi/menjawab daftar pertanyaan mengenai pengetahuan tata pemerintahan/kepemerintahan yang baik dan pelaksanaannya terpisah dari pelamar umum.

Dari pasal di atas tidak bisa menunjukkan PNS yang diterima memang betul-kompetensi dalam bidangnya. Oleh karenanya perlu ada tambahan tes kompetensi sesuai dengan formasinya. Tujuannya, mencari sumber daya manusia yang benar-benar qualified di bidangnya. Sumber daya manusia yang dihasilkan menjadi bagian pemecah masalah bangsa Indonesia, bukan menjadi masalah baru bagi bangsa Indonesia.

Bagi tenaga honorer yang tidak lolos, pemerintah harus memperhatikan kesejahteraannya, minimal setara UMR serta ditambah dengan berbagai tunjangan. Di samping itu memberikan kesempatan yang sama dalam mengembangkan profesi guru. Pemerintah juga segera merealisasikan amanat UU Guru dan Dosen. Kalau masih ada tenaga honorer yang underqualified (di bawah standar), maka diberikan dua opsi apakah mau dirumahkan (PHK) dengan pesangon yang layak atau menjalani pendidikan lagi, sehingga tenaga honorer maupun swasta tetap bisa layak hidup.

Tidak kalah penting pasca pemberlakukan PP ini, pemerintah harus menindak tegas bagi pejabat yang mengangkat tenaga honorer lagi. Walaupun sudah diatur dalam Pasal 8, sampai sekarang masih ada pejabat yang berani mengangkat tenaga honorer.

Dengan usulan revisi PP 48/2005 ini, setidaknya dapat meminimalisir kelemahan-kelemahan yang ada selama ini. Masing-masing pihak, baik tenaga honorer yang digaji pemerintah maupun swasta bisa legowo. Kemudian karena pemerintah akan menyelenggarakan CPNS pada bulan Oktober nanti, seharusnya PP tersebut harus segera dibahas dengan melibatkan berbagai profesi, termasuk di dalamnya guru swasta. Kalau memang tidak cukup waktunya, lebih baik pelaksanaan perekrutan CPNS periode Oktober 2006 diundur, sampai terbitnya revisi PP. 48/2005 yang tidak diskriminatif.(11)

- Muh Zen Adv, ketua umum Persatuan Guru Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI), Hery Nugroho, sekretaris eksekutif Komunitas Peduli Pendidikan (Koppen) Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar