Jumat, 18 Juli 2008

Distorsi Kenaikan Gaji PNS

* Oleh Jabir Alfaruqi

DALAM RAPBN 2008 gaji pegawai negeri sipil (PNS), TNI, dan Polri, akan dinaikkan 20%. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kenaikan gaji tersebut diharapkan bisa meningkatkan produktivitas, meningkatkan pelayanan publik, kedisiplinan, dan mendorong pemerintahan yang bersih. Ditegaskan juga, kesejahteraan rakyat merupakan muara semua agenda pembangunan yang dilakukan. Pemerintah terus menerus melakukan program-program prorakyat.

Kenaikan gaji PNS, TNI, dan Polri itu bukan masalah, bahkan suatu keharusan. Di sisi lain, kenaikan kesejahteraan rakyat juga tidak kalah penting. Maka, di masa kehidupan ekonomi yang sulit seperti sekarang, kenaikan gaji pegawai bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dari rakyat: kapan pendapatan rakyat dinaikan oleh pemerintah Untuk menjawab pertanyaan itu, pemerintah berharap kepada PNS, TNI, dan Polri, agar bisa melakukan peningkatan pelayanan publik demi peningkatan kesejahteraan rakyat setelah kenaikan gajinya.

Namun, apakah benar kenaikan gaji akan serta merta meningkatkan pelayanan publik? Itu suatu masalah yang harus dicarikan solusi. Sebab, tidak selalu kenaikan gaji pegawai diikuti dengan peningkatan kinerja dalam pelayanan publik.

Memang, kenaikan gaji pegawai merupakan salah satu unsur untuk melakukan reformasi birokrasi demi terwujudnya pemerintah yang prorakyat. Prinsipnya, dengan kenaikan gaji, pelayanan publik akan membaik.

Hanya perlu diingat, bahwa komponen untuk mereformasi birokrasi banyak unsurnya, sehingga kenaikan gaji tidaklah dengan sendirinya menjamin membaiknya pelayanan publik.

Kalau kita sepakat bahwa salah satu ciri peningkatan pelayanan publik adalah pengurangan jumlah korupsi anggaran untuk rakyat, maka di Italia pernah dicoba menaikkan gaji pegawai negeri cukup tinggi, tetapi korupsi anggaran untuk rakyat tetap saja terjadi dan tidak menurun.

Bila hal itu kita kontekskan dengan negera kita, apakah kenaikan gaji PNS, TNI dan Polri, itu akan seperti di Italia, atau benar-benar akan melahirkan clean government? Sebab selama ini, dari tahun ke tahun, gaji pegawai selalu naik dan jumlah koruptor juga naik.

Tidak Prorakyat

Siapa pun yang menjadi kepala pemerintahan, baik di pusat, provinsi, maupun daerah, mengatakan selalu menekankan program-program yang prorakyat. Sehingga tidak salah, kalau Presiden SBY menaikkan gaji PNS, TNI, dan Polri pun, muaranya adalah peningkatan kesejahteraan rakyat.

Tetapi benarkan secara normatif maupun realita kebijakan pemerintah itu sudah prorakyat dan akan meningkatkan pelayanan publik? Jawabnya belum. Hal itu bisa dilihat dalam RAPBN dan RAPBD-RAPBD yang berjalan selama ini.

Di era otonomi daerah, banyak keleluasaan yang diberikan oleh pusat untuk daerah demi meningkatkan kesejahteraan warga daerah. Namun filosofi kebijakan itu sulit diterapkan. Mengapa? Kalau kita cermati program-program pemerintah daerah lewat RAPBD, akan terlihat struktur dan bentuknya bahwa 60% dari RAPBD adalah untuk belanja pegawai dan 40% untuk belanja publik. Kepentingan publik yang sedemikian banyak hanya dibiayai dengan 40% RAPBD, sdangkan jumlah pegawai yang hanya sedikit dibiayai 60% RAPBD.

Logikanya, kalau dana untuk kepentingan publik jauh lebih kecil dibandingkan dengan belanja pegawai, lalu bagaimana kualitas dan kuantitas pelayanan publik akan bisa ditingkatkan? Bukankah untuk bisa meningkatkan pelayanan publik dibutuhkan dana yang cukup, dan hal itu tidak bisa hanya diatasi dengan kenaikan gaji pegawai saja.

Komponen untuk mereformasi birokrasi banyak unsurnya, sehingga kenaikan gaji tidaklah dengan sendirinya menjamin membaiknya pelayanan publik. Lalu di manakah program yang digembar-gemborkan sebagai program prorakyat, untuk kesejahteraan dan kemajuan rakyat? Jika kepala pemerintahan benar-benar proprogram rakyat, beranikah mengubah struktur dan bentuk RAPBD yang berjalan selama ini? Bila ada yang berani membalikkan RAPBD, yakni 40% untuk belanja pegawai dan 60% untuk kepentingan publik, itu baru benar-benar kepemimpinan yang prorakyat.

Tetapi adakah sosok yang berani melakukan hal itu? Selama konsep RAPBD masih seperti itu, maka tidak ada program-program yang prorakyat. Program-program prorakyat itu hanya omong kosong, bualan politik, dan ngecap saja. Kondisi otonomi daerah yang seperti itu sering disindir oleh para pakar otonomi bahwa otonomi daerah sebenarnya bukan otonomi rakyat daerah melainkan otonomi pejabat daerah untuk memanfaatkan kekayaan daerah.

Pemerintah daerah atas nama rakyat daerah bisa berbuat apa saja. Itu yang se-ring tidak bisa dikontrol oleh pemerintah pusat. Memang program-program dari pusat untuk daerah banyak yang prorakyat. Itu sesuatu yang perlu disyukuri.

Hanya saja, dalam pelaksanaannya, dana-dana untuk rakyat yang tentu saja melewati pejabat daerah sering tidak sampai kepada rakyat secara utuh, baik, dan benar. Banyak program yang tidak hanya salah sasaran, tetapi mengalami penyunatan di sana-sini; sehingga jatah rakyat yang dianggarkan sedemikian besar dari pusat, sampai kepada rakyat menjadi kecil dan kurang bermakna.

Program yang tujuannya memberdayakan rakyat sering menjadikan rakyat tak berdaya. Yang lebih tragis, program-program yang mengalami bias sasaran dan penyunatan di birokrasi tidak hanya terjadi di saat normal. Korban bencana alam yang begitu menyedihkan saja, dana bantuannya bisa disunat di sana-sini. Yang menyunat itu bukan pegawai atau pejabat yang bergaji rendah dan berpendapatan minim, melainkan pejabat atau pegawai yang berpenghasilan cukup.

Oleh karena itu, kenaikan gaji saja belum cukup untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik tanpa diserta kebijakan yang tegas berkaitan dengan pola-pola kerja birokrasi. Tantangan Pemerintahan SBY bukan hanya bagaimana menaikkan gaji PNS, TNI, dan Polri, melainkan juga bagaimana membangun sistem pemerintahan yang efektif, efisien, dan produktif.(68)

- Jabir Alfaruqi, sekjen KP2KKN Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar