Rabu, 16 Juli 2008

Gaji dan Korupsi

Seorang jaksa kasus BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia), Urip Tri Gunawan, tertangkap basah menerima suap sekitar Rp6 miliar. Kasus tersebut kembali mencoreng dunia hukum secara umum, khususnya institusi Kejaksaan Agung (Kejagung).
Dalam rapat kerja antara Kejagung dengan DPR, Rabu (5/3), Jaksa Agung Hendarman Supandji memaparkan kecilnya gaji jaksa di Indonesia. Seorang Urip, yang menangani kasus korupsi senilai Rp39 triliun, hanya bergaji resmi Rp3,5 juta per bulan.
Secara tidak langsung, Hendarman ingin menyatakan bahwa perbuatan tak terpuji anak buahnya tersebut terkait dengan kecilnya gaji itu. Hendarman berjanji mengevaluasi struktur gaji di lembaga yang dia pimpin.
Inilah sebuah salah kaprah besar dalam memahami perilaku korupsi penegak hukum serta aparat pemerintah lain di Indonesia. Laku korupsi bisa jadi disebabkan tingginya kebutuhan hidup, sedangkan gaji yang diterima dari tempat bekerja tidak memadai.
Namun, jika persoalannya hanya terbatas pada minimnya gaji itu, sangat gampang menyelesaikan korupsi di Indonesia. Alokasikan dana APBN yang lebih besar untuk gaji PNS (pegawai negeri sipil) dan aparat pemerintah lainnya. Gaji tinggi, hilang sudah korupsi.
Benarkah hubungan korupsi dengan gaji sesederhana dan separalel itu? Nilai nominal adalah sebuah ukuran yang relatif. Nilai Rp1 juta bisa disebut besar, bisa juga kecil. Bergantung perspektif mana memahaminya serta dengan nilai berapa Rp1 juta tersebut dibandingkan. Nilai Rp1 juta akan disebut besar jika dibandingkan dengan Rp10 ribu dan sebaliknya menjadi kecil ketika disandingkan dengan Rp1 miliar.
Dalam konteks jaksa Urip, apakah gaji yang dia terima Rp3,5 juta tersebut adalah bilangan yang besar atau kecil? Bergantung seperti apa gaya hidup Urip yang pernah dinobatkan sebagai jaksa terbaik itu.
Laku korupsi adalah laku moral. Korupsi akan muncul karena beberapa sebab. Di antaranya, lingkungan, pihak penyuap, serta sanksi hukum yang rendah atas kejahatan korupsi. Bisa saja, awal berkarir di kejaksaan, Urip cukup bersih dan berniat bekerja dengan baik. Namun, karena dia melihat rekan-rekan jaksa yang lain menyimpang dan kemudian menjadi sejahtera secara ekonomi, Urip tergoda.
Alasan lain, ada pihak penyuap. Seperti dalam teori ekonomi, harga terbentuk pada titik pertemuan antara suplai dan demand. Seperti menerka telur dan ayam, tidak jelas apakah yang mengawali laku korupsi itu pihak penyuap atau yang menerima suap.

Seseorang yang awalnya menghindar untuk berbuat korup atau menerima suap bisa saja tergoda untuk mencoba-coba ketika tawaran dan kesempatan datang bertubi-tubi.
Terakhir, terkait dengan sanksi hukum yang tidak tegas, tebang pilih, serta pemberantasan korupsi hanya menjadi komoditas pencitraan. Jika seperti itu, yang muncul ke publik adalah banyaknya kasus korupsi yang terungkap. Namun, sanksi hukum bagi pelakunya sangat ringan. Kita tentu tidak serta merta harus meniru China yang menjatuhkan vonis berat bagi koruptor. Yang penting, ada konsistensi dan peningkatan sanksi bagi pelaku.
Perbaiki tiga aspek itu dulu, jika ingin menekan angka korup di kalangan aparat penegak hukum kita. Setelah lingkungan dipersempit dan sanksi dipertegas, termasuk kepada para penyuap, bolehlah selanjutnya berpikir untuk menaikkan gaji. Itung-itung sebagai reward kepada PNS dan penegak hukum atas kemauan mereka menjauh dari laku korups

Tidak ada komentar:

Posting Komentar