Jumat, 18 Juli 2008

Gaji Pejabat dan Pesan Moral PM Badawi

12 Juni 2008
Tajuk Rencana
Inilah bedanya Malaysia dengan kita, Indonesia. Wacana yang pernah disampaikan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir agar gaji pejabat dipotong dalam kaitan dengan kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tidak bergaung dan hanya bergulir sebatas pernyataan. Tetapi di Malaysia, dalam problem yang sama, dan untuk meredam kemarahan masyarakat menyusul kenaikan harga BBM, Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi menegaskan akan memotong gaji para menteri dan pejabat tinggi pemerintah sampai 10 persen. Acara liburan menteri ke luar negeri juga bakal dikurangi.

Ada pertimbangan moral di balik gagasan PM Badawi itu, ”Pemerintah merasakan penderitaan rakyat. Para pejabat harus memberikan teladan dalam menghadapi tantangan ini”. Di Malaysia, kompensasi untuk rakyat semodel Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Indonesia jelas tidak dikenal. Yang ditekankan oleh Badawi justru bagaimana mengimplementasikan pernyataan ”merasakan penderitaan rakyat” itu dengan empati berupa pemotongan gaji. Apakah hal itu dilatarbelakangi oleh upaya menaikkan popularitasnya yang merosot belakangan ini, tentu merupakan soal lain dari substansi sikap ”bersama-sama” dengan rakyat.

Di tengah kita, yang sulit diaktualisasikan adalah semangat keberpihakan kepada rakyat yang berwujud pada sikap. Boleh saja program ala BLT dibanggakan sebagai wujud sikap tersebut, tetapi ketika pada sisi lain para pejabat tidak mencoba untuk ikut menghayati apa yang dirasakan rakyat, maka akan tetap menganga juga jarak antara pernyataan dengan perbuatan. Sebelum kenaikan harga BBM kita disuguhi berita kenaikan gaji dan tunjangan aparat penegak hukum dengan tujuan agar tidak lagi tergoda untuk masuk dalam lingkaran mafia peradilan. Kita juga tahu sejumlah kasus korupsi mengapung di sejumlah lembaga negara.
Kita tidak bermaksud menjadikan pendapatan pejabat sebagai ”kambing hitam” dalam persoalan beban hidup rakyat. Tetapi bahwa fasilitas, tunjangan, kemudahan-kemudahan, serta berbagai item kesejahteraan selalu mengikuti suatu jabatan bukanlah sesuatu yang tidak diketahui rakyat. Mengambil contoh Malaysia hanyalah untuk memberi gambaran, bahwa pejabat diajak untuk berprihatin di tengah masa-masa sulit ini. Kesediaan dipotong 10 persen gajinya tentulah menguatkan ungkapan ”pemerintah merasakan penderitaan rakyat”. Ada kesadaran serempak bahwa seluruh anak bangsa sedang dalam kondisi keprihatinan.

Sebenarnya sederhana jika pemerintah memang ingin membangun atmosfer simpati semacam Malaysia itu. Kuncinya adalah iktikad. Bukankah yang acapkali mengganggu perasaan rakyat adalah lemahnya sensitivitas terhadap kondisi krisis? Misalnya, di tengah keprihatinan, perjalanan-perjalanan dinas dalam bungkusan kunjungan kerja ke luar pulau atau daerah lain masih saja dilakukan. Ada pula kepala dinas pendidikan yang memimpin rombongan kepala sekolah ke luar negeri dalam kemasan studi banding. Belum lagi keluarga para pejabat dalam satu rombongan piknik yang kemasannya tentu bisa dibuat seolah-olah wajar.

Sensitif terhadap keadaan, dan kemauan untuk mengaktualisasikan kepekaan tersebut, itulah sesungguhnya pesan moral dari PM Abdullah Badawi. Bagaimana para pejabat tampil bersahaja agar tidak menimbulkan ketersinggungan rakyat yang sedang menderita, misalnya. Dalam segi-segi tertentu, performa personal seorang pejabat publik dan keluarganya tidaklah dapat dikatakan sebagai ”urusan pribadi”, karena dia telah memilih dan menerima amanah yang terkait dengan kepercayaan rakyat. Jadi bukankah keberadaannya dalam jabatan itu adalah untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar