Jumat, 27 Juni 2008

Pengungkapan kasus Trisakti dan Semanggi jalan di tempat.

PENYIDIK Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus pelanggaran berat HAM Trisakti, Semanggi I dan II, mengembalikan berkas penyelidikannya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Mereka menganggap berkas perkara hasil penyelidikan yang diserahkan Komnas HAM bukan merupakan berita acara seperti yang termaktub dalam pasal 102 dan pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), melainkan hanya merupakan hasil transkrip wawancara dari beberapa saksi.

YONIF LINUD 30/KUJANG I MENGHAJAR MAHASISWA.
Tidak terjangkau oleh hukum.


Pasal 75 KUHAP mensyaratkan berita acara tersebut haruslah dibuat untuk setiap tindakan, baik pemeriksaan saksi, penangkapan, penggeledahan dan lain-lain yang dikuatkan adanya keterangan atau identitas dari orang yang melakukan tindakan penyelidikan tersebut dan adanya sumpah jabatan dari anggota penyelidik.

Kejagung juga minta agar ketiga kasus dipisahkan pemberkasannya. Ini menunjukkan Penyidik Kejaksaan Agung masih berpikir dalam kerangka penyidikan perkara pidana biasa. Kalau peristiwa itu dipisah menjadi kasus per kasus, maka esensi pelanggaran berat HAM, yakni sistematik atau meluas menjadi hilang. Padahal, Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti dan Semanggi I dan II, dibentuk karena ingin menunjukkan bahwa ketiga kasus itu merupakan satu konstruksi kebijakan yang harus dipertanggungjawabkan.

Pemisahan kasus Trisakti, Semanggi I dan II seperti yang diusulkan Kejaksaan Agung akan menghilangkan esensi pelanggaran berat hak asasi manusia. Implikasi dari pemisahan rangkaian peristiwa itu akhirnya akan sekadar menghukum para pelaku di lapangan, tetapi membebaskan orang-orang yang menjadi penanggung jawab kebijakan.

Berkas penyelidikan dari Komnas HAM dilimpahkan ke Kejagung pada 30 April 2002. Berkas yang ditandatangani Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto, diterima langsung oleh Jaksa Agung MA Rachman dan diteruskan kepada tim penyidik HAM Kejagung pada tanggal 3 Mei 2002.

Tragedi di kampus Universitas Trisakti, 12 Mei 1998 yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti, Tragedi Semanggi I, 13 November yang menewaskan lima mahasiswa dan Tragedi Semanggi II 24 September 1999 yang menewaskan seorang mahasiswa.

DEMONSTRASI MAHASISWA MEI 1998.
Reformasi tidak berjalan.


Mahkamah Militer Jakarta Timur telah mengadili sebelas anggota Polri dalam kasus Trisakti. Sebelas terdakwa berpangkat perwira muda, bintara, dan tamtama tersebut telah divonis delapan tahun hingga sembilan tahun oleh majelis hakim Mahmil 11-08, 30 Januari 2002. Dalam sidangnya Oditur menuntut para terdakwa melakukan tindak pidana kumulatif pembunuhan yang dilakukan bersama-sama sebagaimana diatur Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP serta penganiayaan bersama-sama sebagaimana diatur Pasal 351 KUHP Ayat 1 ke 1 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.

Menurut oditur, para terdakwa saat berada di fly over Grogol melakukan tiga kali tembakan salvo ke atas. Selanjutnya mereka menembakkan peluru tajam secara terbidik ke arah mahasiswa yang sedang berlarian dari pagar kampus Trisakti.

Terdapat sepuluh titik yang menjadi arah tembakan antara lain halaman parkir Gedung L dan M, arah depan teras gedung M, sekitar tiang bendera dekat Kampus M yang semuanya menyebabkan empat mahasiswa yaitu Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Herdiawan Sie, Heri Hertanto tewas dan enam lainnya luka.

Oditur juga menyebutkan hasil uji balistik di Montreal, Kanada, dan di Belfast, Irlandia Utara, terhadap anak peluru dari tubuh korban yang hasilnya adalah peluru ditembakkan dari senapan jenis Styer cal 5.56, yaitu jenis senapan yang digunakan para terdakwa.

Namun peradilan terhadap polisi ini ternyata menjadi alat resistensi dari tingkatan militer untuk mencegah proses ini diselesaikan melalui Peradilan HAM ad hoc. Dan tampaknya sedang ada proses pemotongan mekanisme yang sedang berjalan di tingkatan prosedural HAM dengan berbagai dalih menolak pemanggilan KPP HAM.

Dalam rekomendasi KPP HAM Trisakti dan Semanggi I-II yang dibentuk Komnas HAM ditunjuk 50 nama prajurit dan perwira TNI dan Polri yang bertanggung jawab dalam peristiwa Trisakti dan Semangi I-II yang menewaskan sejumlah mahasiswa. Sebanyak 36 dari 50 orang itu diduga sebagai pelaku pada level lapangan, 11 orang pada level komando sementara tiga orang bertanggung jawab pada level kebijakan strategis.

Namun siapa saja para prajurit dan perwira yang direkomendasikan bertanggung jawab terhadap tiga peristiwa itu tidak diumumkan karena terbentur penjelasan pasal 20 ayat 2 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, di mana nama-nama yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat tidak bisa disebarluaskan kepada publik.

Sumber-sumber di KPP HAM menyebutkan, sejumlah perwira TNI/Polri yang dipanggil KPP HAM, kecuali mantan Wakapolres Jakarta Selatan AKBP Zulkarnaen, masuk dalam daftar rekomendasi itu. Zulkarnaen adalah satu-satunya personel TNI/Polri yang datang memberi keterangan kepada KPP HAM.

KORBAN SEMANGGI I.
Aparat keamanan cuci tangan.


Hasil penyelidikan yang dilakukan KPP HAM dalam masa kerjanya sejak 27 Agustus 2001 menyimpulkan, dalam tiga kasus tersebut telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan, yakni pembunuhan dan perbuatan-perbuatan tidak berperikemanusiaan yang berlangsung secara sistematis, meluas, dan ditujukan kepada warga sipil. Perbuatan-perbuatan kejahatan itu dilakukan dengan inisiatif dan peranan penuh aparat-aparat TNI dan Polri yang menggunakan kekuatan dan alat-alat kekerasan secara eksesif untuk mencapai tujuan-tujuan politik mempertahankan kekuasaan.

Ada dua kekuasaan yang terlibat, kekuasaan Soeharto (dalam kasus Trisakti) dan kekuasaan Habibie melalui Sidang Istimewa MPR (dalam kasus Semanggi I), serta pengesahan undang-undang yang memberikan kepada negara kontrol eksesif terhadap masyarakat sipil (dalam kasus Semanggi II).

KPP HAM juga merekomendasikan kepada Komnas HAM untuk mendesak pemerintah melalui Kejaksaan Agung untuk segera melakukan proses penyidikan atas peristiwa kerusuhan Mei 1998 sesuai dengan rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta. Ada pola yang kuat.

PERDEBATAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN

Kejaksaan Agung (Kejagung) Laporan KPP HAM TSS yang berbentuk transkrip wawancara belum memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan meminta laporan peristiwa TSS tidak dijadikan satu atau dipisah.
KPP HAM Penyidik Kejaksaan Agung masih berpikir dalam kerangka penyidikan perkara pidana biasa. Pemisahan akan menghilangkan esensi pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM). Karena hanya akan menghukum para pelaku di lapangan, tetapi membebaskan orang-orang yang menjadi penanggung jawab kebijakan.

Format laporan KPP TSS sebenarnya bentuk laporan internasional untuk peristiwa pelanggaran HAM yang disebut Huridocs (Human Rights Document System). Huridocs memang bukan BAP, namun merupakan dokumen yang dibuat untuk mempermudah proses penyidikan.


Sumber: Riset Asasi, 2002.

Kasus Trisakti dan Semanggi I-II ini sampai sekarang masih menjadi tarik menarik kepentingan politik. Bahkan menyeret kepentingan anggota DPR. Sebelumnya rapat paripurna 9 Juli 2001 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung Nusantara V yang tidak memenuhi kuorum itu, Ketua Pansus DPR untuk kasus Trisakti dan Semanggi, Panda Nababan (F-PDI Perjuangan) membacakan laporan yang intinya Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II merupakan pelanggaran biasa dan bukan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM). Pansus merekomendasikan agar kasus tersebut dituntaskan melalui pengadilan militer atau pengadilan umum yang telah berjalan. Keputusan itu membuat jengkel keluarga korban. Keluarga korban melempari ruang rapat anggota Dewan terhormat dengan tujuh butir telur busuk sebagai imbalan atas kerja anggota DPR yang tidak seserius ketika mengungkapkan dugaan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid pada kasus penyalahgunaan dana Yayasan Yanatera Bulog senilai Rp 35 milyar lewat Pansus Buloggate. Hal ini diperkuat fakta bahwa dalam rapat-rapat Pansus, dari 50 jumlah total anggota jarang mencapai kuorum. Paling sekitar 20 orang saja yang mengikuti rapat.

Benarkah rekomendasi DPR sudah sesuai prosedur penyelidikan pelanggaran HAM? Ataukah rekomendasi itu hanya berdasar kepentingan politik? Kalau melihat hasil rapat pleno Pansus 27 Juni 2001, rekomendasi dibuat berdasarkan voting. Dari 26 orang anggota yang menandatangani daftar hadir, 19 mengikuti voting, 14 memilih pelanggaran biasa dan lima suara memilih pelanggaran berat HAM.

Rekomendasi ini pula kemudian dijadikan dasar bagi anggota TNI/Polri, yang dianggap bertanggung jawab dalam ketiga tragedi itu, menolak pemanggilan pemeriksaan Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti/Semanggi bentukan Komnas HAM. Mereka juga berkelit memainkan makna pasal 18 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 26 tahun 2000 menyebutkan, (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Ayat (2) Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Ayat (3) Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum. Dan pengadilan militer terhadap sejumlah polisi menjadi alasan kuat, bahwa kasus tersebut sudah dianggap selesai.

KONTROVERSI PEMANGGILAN KPP HAM

TNI/Polri
  1. Surat pemanggilan KPP belum pernah diterima TNI/Polri.
  2. KPP HAM tidak dikenal dalam ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maupun dalam ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Mengacu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 bahwa institusi KPP HAM tidak ada disebut dan tidak berwenang melakukan penyelidikan secara pro-yustisia atas peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II yang terjadi pada saat sebelum undang-undang tersebut diundangkan. Hal tersebut diuraikan lagi dalam Pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000 bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkan undang-undang ini harus diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc.
KPP HAM
  1. Surat panggilan telah dikirim.
  2. Tindakan TNI/Polri tersebut telah bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 dan UU Nomor 26 Tahun 2000 yang menyebutkan bahwa Komnas HAM bersifat independen. Dalam Pasal 18 Ayat (1) dan (2), yang menyebutkan bahwa penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Komnas HAM. Karena itu, dalam melakukan penyelidikan, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan masyarakat.

Sumber: Riset Asasi, 2002.

Namun yang mengherankan, mengapa hanya KPP HAM tragedi Trisakti dan Semanggi I-II yang dipersoalkan. Sementara, penyelidikan KPP HAM atas kasus Timtim dan Abepura bisa berjalan mulus dengan memberikan hasil KPP Ham tersebut kepada Komnas HAM, kemudian diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk disidangkan. Bahkan, DPR merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dan Mahkamah Agung telah meresmikan gedung pengadilan HAM dan melantik hakim ad hoc dan jaksa ad hoc, pada Januari 2002.

Dalam peristiwa dugaan pelanggaran HAM Timor Timur (Timtim) dengan terdakwa mantan Kepala Kepolisian Daerah Timtim Timbul Silaen dan mantan Gubernur Timtim Abilio Jose Osorio Soares juga tidak dipisah-pisah. Silaen dan Abilio dituduh tidak melakukan tindakan layak atau mencegah penyerangan di Kediaman Pastor Rafael dos Santos, Liquisa, 5 April 1999, di kediaman Manuel Carascalao, 17 April 1999, di Diosis Dili, kediaman Uskup Belo dan Gereja Ave Maria Suai, 6 September 1999.

ABILIO DI PENGADILAN HAM AD HOC.
Harus dihukum berat.


Bentuk transkrip yang menjadi keberatan Kejaksaan Agung, adalah bentuk laporan internasional untuk peristiwa pelanggaran HAM yang disebut Huridocs (Human Rights Documentation System). Huridocs memang bukan BAP, namun merupakan dokumen yang dibuat untuk mempermudah proses penyidikan.

Huridocs dapat dikatakan sebagai bangunan peristiwa secara detail yang berisi rangkaian peristiwa, nama orang yang terlibat, sumber informasi sampai derajat keterlibatan seseorang. KPP beranggapan laporan tidak perlu dibuat seperti BAP karena nantinya jaksa akan melakukan penyidikan dan memberkasnya dalam BAP.

Sengketa TNI/Polri dan KPP HAM hanya bisa diselesaikan melalui mahkamah konstitusi. Namun, karena mahkamah konstitusi belum terbentuk, harus diambil alih oleh Mahkamah Agung. Karena, kedua pihak masing-masing memiliki dasar hukum tentang pemanggilan dan penolakannya. Caranya, yakni dengan menggelar sidang semi-pengadilan untuk membahas soal prosedur pemanggilan bukan membahas ke persoalan materi. Setelah itu, MA harus mengeluarkan fatwa. Ini salah satu pekerjaan rumah yang belum terselesaikan oleh pemerintah Megawati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar