Jumat, 27 Juni 2008

Tuhan ! Ijinkan Aku Jadi Koruptor
Oleh arif
Senin, 11 September 2006 15:11:15


Sepenggal berita; “Adrian Herling Waworuntu, tersangka kasus pembobolan PT Bank Negara Indonesia Tbk senilai Rp 1,7 triliun mengaku memberikan fasilitas kantor penyidik Direktorat II Ekonomi Khusus Mabes Polri.” Betapa murah hatinya seorang tersangka Korupsi yang saat itu ditahan di Mabes Polri. Telpon Genggam, Laptop, Komputer dan Cleaning Service manjadi bagian tidak terpisahkan disaat pelaku Koruptor ditahan. Paradox dengan nasib wong cilik, karena berusaha menebus obat istrinya seharga Rp.5000 sehingga terpaksa mencuri sepatu disebuah Mushola. Hukum positif belum dijalaninya namun hukum alam telah dirasakannya. Babak belur massa menghajarnya karena kedapatan mencuri sepatu. Polisipun menjadi aparat yang berwibawa untuk segera memproses hukum pencuri sandal. Pengadilan memutuskan hukuman 5 bulan penjara.
Sebait lagu dilantunkan “hidup ini adalah panggung sandiwara”. Ternyata sandiwara tersebut benar-benar diresapi oleh penguasa dan pengusaha, selebihnya cukup icip-icip semata. Keadilan sebuah semboyan yang masih jauh membumi, dan pertanyaan itu selalu mengiang “keadilan yang mana ?”.
Tingkah Adrian lainnya mungkin lebih dahsyat, sedahsyat negara ini yang belum bisa membersihkan dirinya dari kondisi kleoptokrasi, maling teriak maling, jadi siapa yang perlu diimani ?
Sejauh bergulirnya waktu, kejujuran menjadi barang langka bahkan ekstremnya kejujuran dianggap biang menghambat kemajuan. Batasan halal dan haram sangat tipis bahkan sengaja disamarkan dalam bentuk fatwah sehingga halal untuk dijalankan. Kaget jika nuranimu masih ada, beberapa bulan yang lalu NU mengeluarkan fatwah tentang diperbolehkan menyogok saat mengkikuti test masuk CPNS. Agama yang sejokjanya menjadi benteng Moralitas kini makin sumir dengan pemahaman Ijtihad mengikuti kemajuan zaman. Partai Kampanye dengan tema bersih, setelah memperoleh jabatan dan kekuasaan janji kampanye hilang dibawa angin. Tragedisnya dengan rakus mereka berusaha merebut posisi strategis di jabatan public dan legeslatif. Alasan mereka cukup sederhana ketika berkoalisi dengan otak koruptor dari partai lain “ini ijithad politik”. Padahal mereka adalah manusia karbitan yang baru beberapa bulan menjelang pemilu belajar politik, bagaimana mungkin ingin merubah pemain politik yang sudah berkarat puluhan tahun. Akibatnya mereka asyik – masykul dengan permainan yang dimainkan kelompok koruptor asal.
Seorang mitraku mengirim sebait SMS; “Mas Itulah…Apakah Tuhan sudah mengatur dunia ini dipimpin oleh orang-orang jahat ? saya jadi ngak percaya dengan keadilan Tuhan. Apakah kita perlu jadi orang jahat saja supaya hidup enak ? bagaimana arti hidup ini ?” Wajar mitraku berkeluh kesah, tatkala Kampanye berlangsung, dia coba mensupport habis-habisan Partai bersih demi mendapat kemenangan di wilayah tersebut, timbal-baliknya, mitraku akan diusung menjadi Bakal Calon Bupati untuk Pilkada yang rencananya di pilih oleh rakyat. Perjalanan waktu ternyata merubah apa yang direncanakan, partai bersih ternyata lebih memilih mencalonkan orang lain yang sama sekali masih dipertanyakan kontribusinya bagi partai, lebih hebatnya orang yang dicalonkan juga merupakan bagian dari system korup yang telah berlangsung lama.
Kisah diatas hanya sepenggal pengalaman yang ada didaerah, kelompok perubahan yang tadinya diharapkan ternyata malah memantapkan status quo yang sudah ada. Masyarakat ingin perubahan, namun masyarakat juga yang menciptakan system korup tersebut.
Menjadi pengawai negeri adalah sebuah status social yang sangat diidamkan oleh masyarakat kita. Label pengawai negeripun identik dengan masa depan yang terjamin. Yang sudah tentu secara fisik dapat dilihat dari materi berlimpah. Masyarakat mendorong PNS untuk bisa mencitrakan dirinya dengan jabatannya, meskipun Jabatan tersebut hanya dihargai dengan gaji Rp.1.000.000 / perbulan. Kesehariannya seorang pejabat bisa memiliki mobil mewah, rumah mewah bahkan istri simpananpun hidup di apartemen. Semua terlihat wajar selama ini, bahkan dengan kewajaran tersebut hukum tidak bisa menyentuh apa yang terjadi di banyak Pejabat baik dipusat dan daerah.
Ketika terjadi penerimaan PNS, ribuan bahkan jutaan orang mengadu nasib demi masa depan yang cemerlang, padahal jika dihitung dengan akal sehat, apa yang didapatkan dari jerih payah menjadi PNS tidak akan mengubah kehidupan secara materi lebih baik. Lain halnya dengan mental korup, menjadi PNS adalah sebuah strategi untuk mendapatkan kekuasaan sehigga dampaknya materi dengan mudah didapatkan.
Semakin bingung dengan kenyataan yang ada, kebanggan yang terpatri dari sebuah negara berdaulat adalah prestasi mempertahankan diri pada kelompok lima besar negara terkorup didunia. Parahnya beban peringkat tersebut ternyata tidak memilih tempat untuk menunjukkan diri sebagai negara terkorup. Bencana Tzunami di Aceh – Sumut menunjukkan keprihatinan mengenai mentalitas Korup bangsa ini, informasi skala righter bencana yang ada dengan titik sentrum diwilayah Aceh ternyata jauh dibawah pengukuran sebuah lembaga dari Amerika. Jam Awal ternjadinya gempa skala gempa bernilai 6,4 Righter padahal dalam waktu yang sama Amerika mengeluarkan diatas 8 skala Righter. Informasi itupun kita Korup untuk menutupi apa yang ada dalam diri kita.
Begitu juga sewaktu Ordebaru masih berkuasa, bangsa ini merasa marah ketika Transparansi Internasional mengeluarkan peringkat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di Dunia. Prestasi itu tetap kita pertahankan, sampai-sampai wakil rakyat yang tadinya tidak mengenai Korupsi justru mencatat rekor tersendiri dalam prestasi Korup. Hampir seluruh DPRD di seluruh Indonesia Korupsi…..apa ada lagi yang kita banggakan ? Kyia, ustad dan tokoh masyarakat pun tidak mau ketinggalan untuk berlaku yang sama.
Sebuah pergeseran social menjadi bagian yang tidak kita sadari, Rumah Mewah, Mobil Mewah, Pakaian mahal bahkan makin banyaknya selingkuhan menjadi indicator keberhasilan di mata masyarakat. Masyarakat awampun jauh lebih pintar, mereka berpikir “kenapa mereka yang memegang jabatan dan kekuasaan saja yang korupsi, kita juga bisa” ungkap mereka. Alhasil disaat pemilu Legesltif dan Presiden Kemarin nilai loyalitas pemilih. Hasilnya banyak calon Legeslatif yang tekor…karena rakyat berhasil mengakaliya.
Dihadapan kitapun kejadian tersebut akan terjadi lagi, Pilkada yang konon akan dimulai dengan system anyar yang kedaulatannya ada ditangan rakyat, membuahkan memori tersendiri bagi rakyat untuk mempreteli kandidat kepala daerah yang maju. Nilai tawar yang ada bukan lagi hubungan emosional namun sudah menjurus pada pemikiran untung – rugi.
Kaedah Normatif tentang upaya memberantas korupsi begitu banyak, sampai-sampai bingung aturan mana yang seharusnya digunakan. Kaedah tersebut lahir dari sebuah proses niat baik untuk meminimalisir pelaku korupsi yang masih bergerilya. Memang hasilnya hanya sebatas niat baik, belum menyentuh pada aplikasi dalam aturan normative yang dibuat. Penegak hukum seolah-olah hukum itu sendiri sehingga dengan kekuasaannya berhak menetapkan apa saja sesuai kemauan pribadinya. Saya teringat ketika bertemu dengan salah seorang Kajati, dengan lantang dia berucap “yang menentukan hukum itu saya, apa sampeyan”. Wouh…..sangat berkuasa dan memang luar biasa kuasanya…sampai-sampai kasus dalam Supervisi KPK ingin dipetiekan, demi melindungi kepentingan konconya karena kedekatan suku belaka. UU No, 30 tahun 2002 yang berisi kewajiban dan hak-hak istimewa KPK ternyata tidak berlaku dimata Kajati tersebut. Bahkan kampanye bersih 100 SBY untuk memberantas Korupsi boleh dibilang angin lalu. Dan sangat mungkin itu tidak akan mempan diterapkan dibeberapa daerah meskipun itu masih menjadi bagian negara RI ini.
Hukum bisa dibeli ketika duit berbicara, dan hukum bisa diterapkan ketika berhadapan dengan silemah. Apa yang diharapkan oleh masyarakat terhadap penegakan hukum masih berbanding terbalik dengan perilaku aparat hukum itu sendiri. Sebuah trik bisa saja dimunculkan oleh aparat hukum untuk menunjukkan ada niat baik untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun untuk mendapatkan hasil akhirnya perlu dicarikan korban untuk menutup pelaku sebenarnya. Kenyataan ini seringkali terjadi, Bupati, Gubernur, Ketua Partai seolah-olah manusia kebal hukum.
Aku sudah lelah dengan segala ocehan dan teriakan, sastrawan bicara dengan gaya sastranya, aktivis bergerak dengan demonya, politisi bergerak dengan kampanye putihnya…presiden berjanji dengan program 100 harinya…lalu apa lagi……?
Tuhan……………………
Kenapa Tzunami tidak mengarah saja ketempatku berada ? bukankah korban Tzunami tergolong mati syahid ? jika Tzunami itu belum juga datang…..Tuhan….Ijinkan aku menjadi Koruptor sehingga aku mempunyai kekuasan dan materi yang tidak terhingga. Aku berjanji Ya….Tuhan Jika kekuasaan itu sudah mencapai puncak maka akan kugunakan lagi untuk menghabisi para Koruptor itu kembali.
DOOOOOR….itu solusi terbaik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar